Eminent Advocate UNHCR Dato’s Sri Tahir – warga negara Indonesia yang berkontribusi kepada negara dan para pengungsi di dunia

Eminent Advocate UNHCR, Dato’ Sri Tahir belum lama ini dianugerahi penghargaan dari President Indonesia Joko Widodo atas kontribusinya yang luar biasa di bidang kemanusiaan. Staf UNHCR Indonesia belum lama ini berbincang-bincang dengan Dato’ Tahir mengenai usahanya untuk membantu orang-orang yang kurang mampu.

Dato’ Tahir menerima penghargaan Bintang Mahaputera Nararya dari Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan di Jakarta 15 Agustus 2018. © Istimewa

Eminent Advocate UNHCR Dato’ Sri Tahir menerima penghargaan tertinggi yang diberikan oleh Presiden Indonesia Joko Widodo kepada masyakat sipil — medali Bintang Mahaputera Nararya – atas kontribusinya yang luar biasa kepada negara dan masyakarat. Staf UNHCR di Indonesia belum lama ini berbincang-bincang dengan Dato’ Tahir mengenai pencapaiannya dan bagaimana perannya sebagai pengusaha sukses dan dermawan terkemuka di Indonesia dan dunia. Berikut petikan wawancaranya.

Q: Bisa dicerikan kerja yang telah Anda lakukan sehingga mendapatkan pengakuan dari Presiden Joko Widodo, dan apa artinya penghargaan ini untuk Anda?

Saya sebenarnya tidak tahu kriteria penghargaan yang diberikan Presiden ini. Sebagai pengusaha keturunan Tionghoa, saya yang pertama mendapatkan penghargaan ini dalam sejarah kemerdekaan Indonesia selama 73 tahun. Merupakan suatu kehormatan bagi saya dan keluarga saya dan sukaria bagi kami. Saya ingin berbagi bersama Anda mengenai apa-apa yang sudah saya lakukan. Saya tidak yakin apakah ada hubungannya…[dengan penghargaan tersebut]. Bisa jadi.

Di masa Orde Lama, banyak pengusaha yang merasa penting jika ada hubungan dengan presiden dan orang-orang yang punya kekuasaan. Saya sendiri tidak setuju karena kami pengusaha, bukan politisi. Saya menyasar dua hal: pertama adalah pendidikan, dan yang kedua adalah kesehatan. Pada saat yang sama, hanya orang kaya yang bisa mendapat pendidikan terbaik. Namun anak-anak petani, mereka tidak bisa belajar, misalnya, ke Harvard. Jadi yang miskin makin miskin dan yang kaya makin kaya karena pendidikan ada di tangan orang kaya. Hal kedua, kesehatan, mewakili kualitas hidup masyarakat Indonesian. Untuk mengubah kondisi kesehatan di negara ini, kita perlu melakukannya melalui pendidikan. Melalui pendidikan kita bisa berubah dan meningkatkan kualitas manusia. Itulah sebabnya saya memilih dua hal ini dan berhasil. Saya disambut baik, dan peran yang saya ciptakan diterima oleh mayoritas penduduk yang Muslim, meskipun saya minoritas, keturunan Tionghoa dan Kristiani.

Dato’ Tahir mengunjungi anak-anak dan keluarga Syria di Jordan di 2017. Sejak itu, beliau telah melakukan kunjungan lanjutan ke Jordan dan Lebanon.

Yang kedua, saya beruntung tinggal di Indonesia. Jika saya dilahirkan di tempat lain, di Syria atau Sudan, maka takdir dan keyakinan saya akan benar-benar berbeda. Inilah kenapa saya harus berterima kasih pada negara ini. Banyak orang bilang tidak ada yang gratis. Saya setuju dan saya telah mendapat banyak. Sekarang saatnya untuk membalas. Negara ini telah memberikan saya banyak hal. Jika bukan karena Indonesia, tidak akan ada Tahir di sini, hari ini. Ada pepatah China: “dilahirkan di satu tempat, tumbuh di satu tempat dan meninggal di satu tempat”. Jika Anda bertanya pada saya, apa negara Anda, negara saya adalah Indonesia. Hal ini bukan satu hal yang bisa saya pilih, namun entah Anda memilih menjadi baik, atau buruk. Dan saya telah memilih untuk menjadi yang baik untuk negara saya. Saya ingin memberi kembali ke negara saya. Memberi kembali ada konsekuensi logis, tak ada yang perlu dibanggakan.

Hal ketiga yang ingin saya bagi adalah, dalam agama saya dan pendidikan semasa kecil, saya dididik untuk memahami bahwa kita tidak punya kepemilikan akan kekayaan kita selama hidup. Namun Tuhan memberi Anda dua pilihan: apakah Anda memutuskan menadi manajer yang baik atas kekayaan tersebut atau manajer yang buruk. Jika Anda memilih menjadi manajer yang baik, Anda harus mengelola kekayaan dengan benar, dan ini sangat penting.

Yang terakhir, saya tidak merasa nyaman dan tidak bisa hidup damai jika saya melihat sekeliling saya miskin. Setiap hari, saya melewati jalanan, saya melihat area di sekeliling rumah saya dan melihat orang-orang miskin. Saya tidak bisa berpura-pura tidak melihat apa-apa. Hati nurani saya akan menyalahkan saya.

Jadi dengan empat hal yang saya sebutkan tadi, saya suka melakukan kerja sosial. Saya tidak tahu apakah saya bisa disebut filantropis, saya kira sebutan itu terlalu besar untuk saya. Namun saya lebih suka disebut melakukan sedikit hal kecil.

Q: Apakah yang ingin Anda raih dalam hidup Anda dan melalui kerja kemanusiaan Anda?

Saat saya diwawancarai oleh wartawan senior Dessy Anwar dan ia bertanya bagaimana saya ingin dikenang. Saya katakan padanya bahwa tidak ada yang dikenang dari saya. Saya belum pernah melakukan sesuatu yang luar biasa, saya belum bisa membuat karya besar, tapi saya ingin melihat tiga hal. Satu, saya ingin cara beribadah saya sesuai dengan keinginan Tuhan. Saya harus meyakinkan, tindakan saya, hidup saya, kesaksian saya, seuai dengan keridhaan Tuhan. Kedua, saya ingin melihat orang-orang Indonesia hidup lebih layak karena saya, mungkin tidak semua, tapi sebagian kecil. Dalam video pendek yang diproduksi sebuah universitas Taiwan yang bekerja sama dengan kami, kami mendefinisikan sukses bukan pada berapa kekayaan atau medali yang kita dapatkan, suskses adalah berapa banyak Anda bisa mengubah hidup orang. Hal ketiga adalah saya ingin melihat anak-anak saya menjadi baik.

Q: Beberapa kerja kemanusiaan Anda melalui yayasan yang membawa nama Anda. Bisa Anda ceritakan mengenai kerja Yayasan Tahir dan bagaimana Anda menuangkan tentang keinginan Anda yang ingin memberi kembali.

Saya telah melayani orang-orang miskin rentan selama 20 tahun terakhir. Namun di masa lalu, kegiatan-kegiatan saya tersebar, atau tidak dilakukan secara sistematis. Karena saya seorang Kristiani, saya banyak melakukan lewat gereja. Empat tahun lalu setelah saya bertemu Bill –Bill Gates– beliau menginspirasi saya.

Saya ke Seattle untuk melihat Yayasan Bill Gates, bagaimana mereka dan sebagainya, jadi saya tahu bahwa filantropi tidak bekerja seperti prinsip pemberian 10% yang diajarkan dalam Kristen, atau zakat dalam Islam. Bahkan tidak seperti Corporate Social Responsibility. Filantropi adalah komitmen yang Anda lakukan menurut hati nurani Anda, meliputi berkesinambungan dan berkelanjutan. Jadi tidak bergantung dari suasana hati Anda, atau apakah perusaahaan Anda mendapatkan keuntungan. Anda tidak bisa mengatakan pada orang-orang, penerima [dari kontribusi filantropi] untuk menunggu karena hari ini Anda sibuk, tidak dalam suasana hati yang baik atau perusahaan saya merugi tahun lalu.

Di yayasan saya, kami meerima sekitar 10 surat setiap hari dari seluruh Indonesia yang meminta bantuan. Beberapa permintaan adalah mendesak. Ada kasus dimana seorang anak laki-laki perlu bantuan seperti yang kami lihat di sosial media. Dia tinggal di sebuah tempat sekitar lima jam perjalanan dari Makassar [Sulawesi Selatan]. Saya mengirimkan perwakilan saya ke Makassar untuk menyetir ke tempat tersebut dan membantu anak tersebut. Kami juga membantu kasus-kasus autis melalui satu yayasan bernama Tri Asih.

Selain itu, ada anak laki-laki yang ditinggalkan orang tuanya di sebuah katedral dengan sejumlah pakaian di tas. Polisi membawa anak tersebut ke sebuah yayasan Katolik, saya pergi ke sana dan sekarang anak tersebut ada di bawah asuhan saya. Saya mengunjunginya sebagai bapak asuh dari waktu ke waktu.

Jadi begitulah, filantropi adalah sebuah komitmen. Besarnya tak masalah, bisa besar atau kecil, namun saya berencana untuk melakukannya secara terus-menerus, berkeseinambungan, hingga akhir hayat saya dan saya harap anak-anak saya dapat mengikuti jejak saya.

Q: Anda telah berbicara mengenai bagaimana pentingnya membantu mereka yang kurang mampu. Anda juga telah melakukan hal-hal luar biasa dengan pengungsi di seluruh dunia sebagai Eminent Advocate UNHCR dan kami sangat berterima kasih atas dukungan Anda. Bisa Anda ceritakan sedikit mengapa Anda ingin bekerja dengan UNHCR dan pengungsi?

Tidak ada alasan khusus. Saya hanya ingin berbagi sebagian dengan orang yang tidak beruntung dan menjadi korban perang dan ketidakstabilan politik. Saya merasa bahwa adalah hal bagus bekerja sama dengan UNHCR, karena UNHCR sangat sistematis. Kalian punya banyak data, kalian fokus dan punya arah. Kami hanya berpartisipasi dan mengikuti arahan. Saya telah ke sana [Yordania] tiga kali dan saya melihat sendri bagaimana UNHCR telah melakukan banyak hal luar biasa. Saya pikir UNHCR, UNRWA dan semua organisasi di bawah PBB benar-benar melakukan hal-hal baik.

Komisioner Tinggi UNHCR Filippo Grandi menunjuk Dato’ Tahir sebagai Eminent Advocate UNHCR dalam sebuah acara di Abu Dhabi di tahun 2016.

Q: Apa yang ingin Anda lakukan selanjutnya dalam kerja kemanusiaan Anda?

Saat saya bertemu Presiden, saya berkata pada beliau bahwa saya ingin membantu 100 desa termiskin di Jawa dengan menyediakan perangkat keras dan lunak yang diperlukan. Untuk perangkat keras, saya ingin memperbaiki fasilitas umum, seperti tempat beribadah, entah itu gereja atau masjid. Saya juga ingin menyediakan air bersih dan generator kecil sehingga tersedia listrik yang cukup. Sementara untuk perangkat lunak akan tergantung dari karakteristik daerah tersebut. Jika sebagian masyarakat adalah petani, saya ingin memberikan benih. Jika mereka punya tambak ikan atau udang, saya bisa menyediakan bibit.

Di Indonesia, banyak pengusaha yang membatasi cakupan kerja sosial mereka hanya untuk masyarakat yang berada di kelompok, ranah yang sesuai dengan minat mereka. Saya ingin mereka menjangkau lebih. Seperti sekarang di Lombok dimana mayoritas masyakarat adalah Muslim, kami tidak masalah dan saya mendorong para pengusaha untuk terlibat. Apapun yang terjadi di negara ini selayaknya menjadi pemikiran kita dan melibatkan kita, saya percaya hal itu. Karena saya warga negara Indonesia dan saya harus memberikan kembali kepada orang Indonesia. Itu tanggung jawab saya.

Dato’ Tahir mengunjungi sebuah tempat tinggal untuk anak-anak tanpa orang tua di Jakarta di tahun 2017.