Sukarelawan Indonesia berbagi seni dan cara menjaga lingkungan dengan para pengungsi

“Lihat! Aku melukis kura-kura!” kata Ahmad*, seorang pengungsi berusia 10 tahun, saat mengerjakan lukisan gelas. Ahmad adalah salah satu dari puluhan anak pengungsi yang ikut serta dalam kegiatan seni dan edukasi yang diselenggarakan oleh lembaga non-profit Kanaditya di Jakarta. Acara tersebut berlangsung dua hari pada 24 dan 25 Juli dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional.

Seorang anak pengungsi melukis kura-kura saat kegiatan melukis gelas.
© ©UNHCR/T. Kurniasari

Didirikan oleh Debby Lukito Goeyardi dan Dewa Gede Agung Dharmayasa pada tahun 2012 di Bali, Kanaditya memfokuskan pada literasi dan pendidikan melalui berbagai program seni, budaya dan edukasi bagi anak-anak yang kurang mampu, termasuk anak-anak buruh gendong di pasar tradisional dan anak-anak dari keluarga kurang mampu atau yang berkebutuhan khusus.

Kanaditya telah mengembangkan programnya untuk anak-anak di pulau-pulau sekitar seperti Sumba dan Flores. Kali ini, organisasi ini mengulurkan bantuan untuk membantu pengungsi di Jabodetabek. Untuk kegiatan di Jakarta, Debby dan timnya merekrut dukarelawan melalui sosial media.

Di hari pertama, para sukarelawan mengajari anak-anak pengungsi dari Somalia, Ethiopia, Afghanistan dan Eritrea untuk membuat lukisan tas dan gelas, sekaligus maket desa di pusat komunitas pengungsi. “Sebelumnya, pengungsi seakan unreachable karena kami tahu tentang mereka di berita-berita. Begitu ketemu langsung, ternyata mereka sama saja dengan anak-anak Indonesia. Mereka senang bermain dan belajar hal-hal baru,” ujar Debby.

Nabila (kiri), seorang sukarelawan, membantu pengungsi saat sesi melukis gelas. ©UNHCR/T. Kurniasari

Ketika sesi dongeng, Debby menceritakan sebuah kisah berjudul “Ketika Paman Kala Diam” dalam Bahasa Inggris dan Indonesia. Debby kagum dengan kemampuan berbahasa Indonesia para pengungsi. Anak-anak pengungsi terlihat gembira ketika Debby dan beberapa sukarelawan membagikan hadiah saat kuis yang diikuti dengan sesi membuat maket desa berdasarkan cerita Debby.

Seorang pengungsi asal Eritrea, yang juga ibu dari empat anak, sangat bersyukur bisa berpartisipasi dalam acara tersebut. “Awalnya, anak-anak saya enggan ikut. Sekarang justru mereka senang bisa mengikuti semua kegiatan. Kami benar-benar belajar. Kegiatan ini sangat berarti buat kami,” ujar Sana*.

Pada hari kedua, Debby dan 15 sukarelawan mengunjungi rumah tinggal pengungsi dan bekerja sama dengan 40 pengungsi muda. Pemerhati lingkungan Taufiq Saguanto, dikenal dengan usahanya mendaur ulang botol plastik sekaligus pendiri Museum Recycle Bottles di Malang, Jawa Timur, mengajari para pengungsi dan sukarelawan untuk membuat sepeda motor mini dari botol plastik bekas.

“Menurut saya, bagus bisa membuat sesuatu dari botol plastik bekas. Kegiatan ini bagus buat saya untuk belajar hal-hal baru,” ujar Aria, pengungsi dari Yaman. “Saya suka membangun sesuatu karena itu saya bercita-cita menjadi arsitektur. Saya dengar kita bahkan bisa membuat bangunan dari botol plastik,” tambahnya.

Debby mendongeng di depan puluhan anak pengungsi. ©UNHCR/T. Kurniasari

Setelah belajar menciptakan kerajinan ramah lingkungan, para pengungsi dan sukarelawan dibagi menjadi empat kelompok untuk bekerja bersama-sama dalam lomba masak untuk membuat crepes. Semua tampak semangat menjadi yang terbaik dan tidak segan tangan mereka kotor ketika mengaduk adonan, memasak dan menghias. Yang paling susah adalah bagaimana membuat adonan yang tepat dan crepes yang tipis. Debby, Taufiq dan seorang staf UNHCR bertindak sebagai juri untuk menentukan pemenang berdasarkan kekompakan tim serta rasa dan tampilan crepes. Semua tim hari itu adalah pemenang karena Kanaditya membagi-bagikan hadiah bagi semua pengungsi.

Para sukarelawan berbagi kebahagiaan mereka dalam bekerja sama dengan pengungsi untuk pertama kalinya. “Sebelumnya saya tidak tahu kalau mereka [pengungsi] tinggal di sekitar kita. Saya hanya tahu tentang pengungsi di negara-negara lain di berita-berita. Anak-anak pengungsi sangat kreatif,” kata Nabila. Sukarelawan yang lain, Arnold, bahkan mengambil cuti dua hari demi mengikuti kegiatan. “Ini baru pertama kalinya saya bekerja sama dengan pengungsi. Mereka sama dengan kita. Senang rasanya bisa membantu mereka,” ujarnya.

Anak-anak pengungsi dan orang tua mereka sibuk membuat maket desa. ©UNHCR/T. Kurniasari

 

Taufiq Saguanto memperlihatkan hasil kreasinya yang terbuat dari botol plastic bekas. ©UNHCR/T. Kurniasari

 

Taufiq (kiri) mengajarkan cara membuat sepeda motor dari botol plastik bekas. ©UNHCR/T. Kurniasari

 

Para pengungsi dan sukarelawan bahu membahu membuat crepes dalam lomba memasak. ©UNHCR/T. Kurniasari

*Nama-nama pengungsi dalam artikel ini adalah bukan nama sebenarnya.