Pengungsi perempuan bergabung dengan para perempuan Indonesia untuk membangkitkan suara mereka pada Hari Perempuan Sedunia

Bagi Kalsoom, seorang pengungsi dari Pakistan yang telah berada di Indonesia selama lima tahun, 14 Maret 2018 merupakan hari yang istimewa. Ia menjadi salah satu pembicara dalam acara bincang-bincang bertitel “Get Involved and Stay Engaged: Urban Activism and More Opportunities for Women’s Empowerment” (Mari Terlibat dan Berperan: Aktivisme Urban dan Makin Banyak Kesempatan untuk Pemberdayaan Perempuan).

Kalsoom (kiri) berbicara di depan audiensi selama acara bincang-bincang dalam rangka memperingati Hari Perempuan Sedunia 2018. @UNHCR/T. Kurniasari

Acara bincang-bincang, yang diselenggarakan oleh UN Women dan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ – Korporasi German Untuk Kerja Sama International) yang menandai Hari Perempuan Internasional 2018, menyerukan pada masyarakat untuk bersama-sama dan memberikan peran aktif untuk memastikan makin besarnya pemberdayaan semua perempuan.

Pembicara lain yaitu Wakil Presiden Senior transportasi online GO-JEK, Dayu Dara Permata; penulis novel Sophismata dan Beats Apart, Alanda Kariza; Spesialis Program UN Women di Indonesia, Lily Puspasari; dan Direktur Program Bagian Program Perlindungan Sosial GIZ, Cut Sri Rozanna. Selama acara bincang-bincang, para pembicara berbagi cerita dan mendorong para perempuan untuk mendapatkan pendidikan, lebih independen dan bertindak untuk memperbaiki kehidupan mereka.

Kalsoom berbicara mengenai dirinya dan kisah mengenai para pengungsi perempuan lainnya yang telah mengalami penderitaan karena mereka terpaksa menyelamatkan diri dari negara mereka, meninggalkan keluarga, teman-teman dan rumah mereka. Tergantung dari asal mereka, para pengungsi perempuan juga sering kehilangan hak mendapat pendidikan dan hak-hak lain. Banyak juga yang menghadapi kekerasan rumah tangga dan stigma sosial. “Di banyak negara dari mana pengungsi perempuan berasal, mereka mengalami diskriminasi dan memiliki hak-hak terbatas untuk mengekspresikan pendapat mereka dan hanya terbatas pada hal-hal domestik,” kata pengungsi yang tinggal di Bogor, Jawa Barat, ini.

Kendati Kalsoom jauh dari rumah, awalnya ia justru menemui kesulitan dari komunitas pengungsi di Indonesia. Misalnya, kisahnya, saat ia sering pulang malam lepas menjadi sukarelawan sebagai penerjemah untuk rekan-rekan pengungsi, pengungsi yang lain berpikir bahwa ia melakukan hal-hal buruk. “Perlu lima tahun bagi saya untuk membuktikan bahwa saya membantu pengungsi dalam komunitas kami,” kata Kalsoom.

Melawan segala rintangan dan berkat kegigihannya untuk memperbaiki kehidupan pengungsi perempuan, Kalsoom menginisiasi berdirinya Refugee Women’s Support Group Indonesia (Grup Dukungan Pengungsi Perempuang Indonesia), yang mengadakan pelatihan seni dan kerajinan tangan, pelajaran Bahasa Inggris dan kelas menjahit untuk pengungsi perempuan di Bogor sebagai cara untuk menyalurkan kreatifitas mereka. “Adalah sulit bertahan hidup sebagai seorang pengungsi. Dan komunitas saya perlu bantuan,” kata Kalsoom. “Mereka [para pengungsi perempuan] perlu pendidikan dan pelatihan. Jika mereka berpendidikan, mereka akan terberdayakan, menjadi mandiri dan berkontribusi positif kepada masyarakat,” ujar Kalsoom.

Kalsoom yang awalnya berprofesi sebagai pekerja sosial di negara asalnya dan berakhir sebagai pengungsi, mendirikan label “Beyond the Fabric” untuk produk-produk tekstilnya. Dedikasi dan kegigihan Kalsoom telah membuahkan hasil. Berkat usahanya, makin banyak pengungsi perempuan yang memiliki ketrampilan dan mengakses pendidikan. Kalsoom juga menyebutkan perlunya meningkatkan kesadaran masyarakat akan pengungsi. “Kita perlu memberitahukan kepada khalayak mengenai keberadaan pengungsi di Indonesia,” katanya sembari mendorong makin banyaknya dukungan dari Indonesia untuk komunitas pengungsi.

Berbagai kisah para pembicara di acara bincang-bincang tersebut, menginspirasi para pengungsi yang diundang ke acara tersebut. “Saya belajar bahwa usia bukan halangan. Kamu bisa meraih mimpi-mimpimu dan berbuat sesuatu di usia berapapun,” kata Nina (bukan nama sebenarnya), pengungsi asal Ethiopia.

Zulfa, pengungsi dari Somalia, juga mengungkapkan hal yang sama. Selama acara, Zulfa mengetik jalannya diskusi tersebut di telepon genggamnya. “Adalah perlu untuk mengubah pola pikir kita dan untuk memahami bahwa kita, sebagai perempuan, memiliki hak-hak yang sama dan bisa mencapai kualifikasi yang sama dengan para pria,” katanya.

Sementara itu, Representatif UN Women di Indonesia, Sabine Machi, menghimbau kita semua untuk bertindak dan berkerja bersama-ssama untuk menciptakan perubahan positif bagi para perempuan dan anak-anak perempuan. “Perempuan dan anak-anak perempuan menghadapi rintangan yang menghalangi mereka untuk mencapai potensi menyeluruh. Kita perlu memastikan adanya pilihan-pilihan dan kesempatan-kesempatan yang sama untuk mereka,” ujar Sabine.