Para pengungsi dan pemuda Indonesia belajar pertanian organik demi masa depan yang lebih baik

Abdi (bukan nama sebernarnya), pengungsi dari Ethiopia, berjalan di antara deretan sayuran di kebun yang diurus oleh rekan kerja UNHCR, The Learning Farm (TLF), di suatu pagi yang cerah di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Dengan bangga, ia menunjukkan berbagai sayuran yang ditanamnya di kebun. “Ini kangkung. Ini tomat, selada,” kata Abdi.

Seorang pengungsi muda dari Ethiopia merupakan salah satu dari 10 lulusan terbaik program dari partner UNHCR The Learning Farm (TLF) di Cianjur, Jawa Barat. "Di sini, saya belajar bagaimana menanam sayuran seperti tomat dan selada. Saya juga belajar bekerja sama dalam tim," katanya.
© UNHCR/T. Kurniasari

Ia dengan semangat menjelaskan bagaimana ia mulai belajar pertanian organik di TLF. “Di sini saya belajar bagaimana menanam sayuran seperti tomat dan selada. Saya juga belajar bekerja sama dalam sebuah tim,” katanya. Abdi merupakan salah satu dari 10 lulusan TLF yang belum lama ini lulus.

Ia merupakan salah satu dari puluhan anak muda Indonesia dan pengungsi yang diberikan kesempatan untuk belajar pertanian organik yang merupakan bagian dari kursus yang ditawarkan TLF. Selain pertanian organik, Abdi juga mempelajari keahlian lain, misalnya komputer, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan ilmu keuangan.

“Sekarang, alhamdulillah Bahasa Indonesia saya lebih baik,” kata Abdi sembari mengucapkan terima kasih kepada teman sekelas dan para guru yang telah membantunya selama di TLF. Abdi dan puluhan pemuda Indonesia lainnya lulus dari program tersebut di bulan Juni dan mendapakan setifikat dari TLF.

Didirikan di tahun 2005 oleh World Education, TLF merupakan lembaga swadaya masyarakat yang bertujuan untuk membekali para anak muda kurang beruntung di seluruh Indonesia untuk menjadi lebih mandiri, bertanggung jawab dan berkrontibusi untuk lingkungan melalui pertanian organik dan mencintai alam, ujar Direktur Eksekutif TLF Nona Pooroe Utomo.

“TLF memberikan pelatihan yang dapat digunakan [para anak muda] untuk dapat berkembang,” kata Nona sembari menambahkan bahwa TLF telah menerima pengungsi untuk belajar di TLF sejak tahun 2016. Hingga Agustus 2017, 11 pengungsi telah terdaftar dalam program tersebut.

Yang masuk kategori anak muda yang kurang beruntung termasuk di antaranya adalah mereka yang putus sekolah, berasal dari keluarga miskin dan para pengungsi. Selama proses transisi, sambung Nona, anak muda yang terdaftar di TLF diajarkan sejumlah keahlian dan nilai-nilai dengan harapan bahwa keahlian itu bisa berguna untuk masa depan mereka.

Pelajar TLF berusia antara 15 dan 25 dan berasal dari berbagai latar belakang di seluruh Indonesia. Untuk semua kandidat, sebagai bagian dari proses seleksi, TLF mewawancarai kandidat yang memenuhi syarat. “Kami ingin tahu motivasi mereka, apakah mereka siap menjalani program kami,” ujar Nona.

TLF biasanya menerima hingga empat pengungsi dalam satu angkatan. Selama pelatihan, peserta yang terpilih akan ikut serta dalam berbagai kegiatan pelatihan yang ditekankan pada pertanian organik, sedangkan pelajaran yang lain meliputi ketrampilan lain seperti komputer, Bahasa Inggris dan kelas Bahasa Indonesia untuk pengungsi.

“Kami juga mengajarkan ilmu keuanngan, komunikasi dan pemasaran kewirausahaan. Ketrampilan seperti ini bagus untuk mempersiapkan mereka dalam memasuki pasar kerja,” jelas Nona.

Dari Senin hingga Sabtu, peserta memulai keseharian mereka dari pukul 6 pagi hingga pukul 6 sore untuk melakukan berbagai kegiatan di dalam dan luar kebun.

TLF memiliki staf sendiri untuk mengajar di kelas pertanian organik, namun untuk ketrampilan lainnya, organisasi tersebut mengandalkan sukarelawan individual maupun yang berasal dari organisasi yang merupakan rekan kerja TLF, baik internasional maupun lokal LSM, untuk mengajar anak-anak tersebut. TLF, misalnya, bekerjasama dengan guru sekitar untuk mengajari para pengungsi Bahasa Indonesia. TLF juga berkolaborasi dengan sebuah bank untuk memberikan kelas keuangan, sekaligus universitas swasta untuk memberikan kelas komputer.

Nona memuji para pengungsi yang menunjukkan semangat belajar mereka tak kenal lelah. Salah satu kendala yang dihadapi pengungsi adalah kurangnya kemampuan Bahasa Indonesia mereka. “Tidak semua fasilitator TLF bisa berbahasa Inggris sehingga proses belajar agak susah pada awalnya,” ujar Nona. “Saat ini kami memiliki guru Bahasa Indonesia yang khusus mengajari pengungsi. Para pengungsi tersebut telah menunjukkan dedikasi mereka dalam belajar bahasa,” katanya.

Seorang pengungsi asal Afghanistan yang bernama Rahim mengungkapkan rasa senangnya belajar pertanian organik di TLF. “[Sebelumnya] Saya tidak tahu-menahu mengenai pertanian, sekarang saya tahu bagaimana menanam sayuran. Kami menanam selada, bunga kol, jagung, tomat, terong, bawang bombay dan masih banyak lagi,” katanya.

Rahim, yang baru saja lulus mengikuti program pertanian organik TLF, juga berterima kasih kepada rekan-rekan Indonesia yang telah membantunya beradaptasi di kota tersebut dan belajar Bahasa Indonesia. “Bagus sekali bisa mendapatkan pengalaman ini, nantinya saya bisa bercocok tanam di rumah sendiri,” kata Salman.