Direktorat Jenderal Imigrasi bersama UNHCR, rekan kerja dan pengungsi memperingati empat dekade dalam melindungi pengungsi di Indonesia

Hari masih menunjukkan pukul 7 pagi di Jakarta, namun area The ICE Palace Concert Hall, yang berlokasi di sebuah tempat belanja di ibukota, telah dipenuhi dengan puluhan pengungsi muda. Mereka sedang berlatih untuk tampil dalam acara budaya untuk memperingati World Refugee Day 2017 (WRD) atau Hari Pengungsi Sedunia 2017, pada hari itu. Beberapa pengungsi Somalia berlatih menari di atas panggung, sedangkan sejumlah pengungsi Ethiopia menyiapkan kostum mereka di belakang panggung.


© UNHCR/T. Vargas

JAKARTA, INDONESIA – Acara peringatan yang diselenggarakan oleh UNHCR dan DIrektoral Jenderal Imigrasi (Ditjen Imigrasi). Acara yang berjudul “Celebrating Diversity #WithRefugees” [Merayakan Keberagaman #BersamaPengungsi]” tersebut merupakan bagian dari sejumlah kegiatan untuk memperingati WRD 2017.

Setiap tahun pada tanggal 20 Juni, Hari Pengungsi Sedunia diperingati di lebih dari 100 negara untuk meningkatkan kepedulian terhadap pengungsi sekaligus menggerakkan komunitas di seluruh dunia untuk bertindak. Untuk peringatan tahun ini, UNHCR berkolaborasi dengan rekan kerja lokal melalui sejumlah kegiatan yang dimulai sejak awal Juni. Adapun acara utama berupa kolaborasi bersama Ditjen Imigrasi yang diadakan selama dua hari pada tanggal 24 dan 25 Juli.

Acara ini diawali dengan diskusi panel yang melibatkan pemerintah Indonesia dan rekan kerja UNHCR untuk membahas pengimplementasian Peraturan Presiden (Perpres) Tentang Pengungsi yang baru diterbitkan. Sejak 1979, selama empat dekade, Pemerintah Indonesia telah berbagi tanggung jawab dengan semua negara untuk membantu pengungsi dan, dalam melakukan hal ini, telah mempertahankan tradisi kemanusiaan dalam menerima dan melindungi pengungsi di negeri ini. Perpres baru ini merupakan peraturan komprehensif pertama di negeri ini yang mengatur mengenai pengungsi di Indonesia. Hal ini juga signifikan karena menguatkan komitmen Pemerintah Indonesia dalam memberikan perlindungan kepada pengungsi dan juga memberikan contoh bagi negara-negara lain.

“Sesuai dengan Peraturan Presiden No. 125 (2016), petugas imigrasi akan melaksanakan tindakan penanganan pengungsi dalam hal penerimaan, kemananan, tempat perlindungan dan pengawasan melalui koordinasi dan kerjasama dengan badan-badan terkait di dalam negeri dan organisasi internasional yang berhubungan dengan pengungsi dan pencari suaka,” ujar Direktur Ditjen Imigrasi Ronny F. Sompie.

Representatif UNHCR di Indonesia Thomas Vargas memuji Ditjen Imigrasi dan badan-badan pemerintah lain yang berperan aktif dalam diskusi mengenai pengimplementasian Perpres dan penanganan pengungsi di dalam negeri. “Peraturan ini memberikan contoh bagi negara-negara lain di Asia Tenggara dan sekitarnya mengenai betapa pentingnya untuk menggunakan pendekatan kemanusiaan untuk membantu pengungsi,”kata Vargas. “Di saat pemerintah melanjutkan langkah-langkah dalam mengimplementasikan peraturan ini, UNHCR terus-menerus menawarkan keahlian teknis serta dukungan lain,” tambahnya.

UNHCR dan Ditjen Imigrasi menyelenggarakan diskusi panel di Jakarta untuk membahas peraturan baru tentang pengungsi. © UNHCR/DFM. Hakiki

Selain DJI dan UNHCR, anggota panelis lain meliputi Dicky Komar – Direktur Bidang Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri; Puja Laksana – Sekrearis Desk Penanganan Penyelundupan Manusia, Pengungsi, dan Pencari Suaka Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan; dan Masykur – Kepala Subdivisi untuk Pembangunan Lintas Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri.

Komar mengatakan bahwa dengan tidak adanya peraturan mengenai penanganan pengungsi dan pencari suaka, “Perpres ini merupakan hal yang patut kita banggakan. Kendati tidak sempurna, setidaknya Perpres tersebut akan memberikan kepastian hukum atas upaya-upaya kita dalam mengantisipasi kedatangan orang-orang yang rapuh dari luar negeri, yaitu permasalahan mengenai pengungsi dan pencari suaka.”

Dalam peraturan ini, baik Laksana dan Masykur mengatakan bahwa pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyediakan tempat penampungan bagi para pengungsi. “Sebelum Perpres ini ada, kita tidak memiliki peraturan yang mengatur mengenai permasalahan pengungsi. Sekarang kita sudah memiliki peraturan ini, sehingga Perpres ini mengikat masyarakat Indonesia, Pemerintah Indonesia, institusi Indonesia—karena itu harus dilaksanakan,” tambah Masykur.

Pameran foto berjudul “Four Decades of Protecting Refugees” [Empat Dekade Dalam Melindungi Pengungsi] juga dibuka pada hari yang sama untuk menunjukkan tradisi panjang Indonesia dalam menyediakan tempat yang aman untuk pengungsi dan selama bertahun-tahun serta berbagai kontribusi UNHCR.

Pada hari kedua perayaan WRD, UNHCR mengundang pejabat pemerintah, kalangan diplomatik dan para rekan kerja UNHCR untuk merayakan keberagaman pengungsi melalui acara budaya yang memamerkan berbagai bakat dan keahlian para pengungsi yang tinggal di Indonesia. Acara budaya ini terdiri dari pertunjukan musik dan tari, sekaligus festival makanan yang diselenggarakan oleh rekan kerja UNHCR Church World Service dan Roshan Learning Centre.

 © Kredit foto Roshan Learning Center

Sejumlah pengungsi menyajikan berbagai hidangan tradisional dari berbagai negara. © Kredit foto Roshan Learning Center

Penampilan pembuka dari kelompok anak-anak pengungsi segera menarik perhatian audiens dengan tarian mereka yang berjudul Smile, yang menyerukan persatuan. Penampilan mereka diikuti dengan sebuah drama berjudul “Terima Kasih Indonesia; Behold the Future [Lihatlah Masa Depan]” yang menyimbolkan sejumlah harapan dan mimpi pengungsi muda dan ungkapan rasa terima kasih mereka kepada masyarakat Indonesia.

Grup pengungsi dari Somalia menampilkan tarian tradisional Somalia berjudul Ciyaar Somali Saylici. Gerakan enerjik mereka diikuti dengan penampil selanjutnya yaitu para mahasiswa Universitas Indonesia yang berkolaborasi dengan dua pengungsi muda berbakat Ethiopia yang membawakan lagu yang menunjukkan keramahan masyarakat Indonesia. Band ini telah tampil di sejumlah pertunjukan musik di Jakarta. Acara ini ditutup dengan penampilan dua pengungsi asal Afghanistan yang memainkan alat musik tradisional Afghanistan diikuti dengan tarian etnis dari Ethiopia bernama Shagoye.

Di tengah-tengah acara, UNHCR mengundang sejumlah organisasi yang selama ini menjadi rekan kerja dan mendukung kegiatan UNHCR ke atas panggung, antara lain Palang Merah Indonesia, The Learning Farm, Yayasan Tzu Chi dan donatur dari sektor swasta yaitu restoran Natrabu– untuk memberikan penghormatan atas kerja keras mereka dalam hal penanganan pengungsi.

Shitta Apsari

Duo pemusik asal Afghanistan memainkan alat musik tradisional Afghanistan. © UNHCR/S. Apsari