Roshan Learning Center membawa harapan untuk para pengungsi dari luar negeri

Matahari bersinar terang di kawasan perumahan di daerah Jakarta Selatan. Di antara deretan rumah-rumah, terlihat sebuah rumah sederhana yang digunakan oleh sekelompok pengungsi anak-anak dari luar negeri untuk belajar. Di hari itu, mereka belajar manajemen strategi dan cara mengatasi perselisihan. Sementara itu di kelas lain, sejumlah anak belajar bahasa Inggris. Aktivitas ini jadi pemandangan sehari-hari di Roshan Learning Center (Pusat Pembelajaran Roshan), sebuah oasis bagi para pengungsi di tengah keramaian Jakarta.

Sekelompok pengungsi belajar Bahasa Inggris di Roshan Learning Center, sebuah pusat pemberdayaan pengungsi luar negeri berbasis komunitas di Jakarta.
© UNHCR/M.S. Suryono

JAKARTA, INDONESIA – Kegiatan belajar mengajar ini merupakan bagian dari sejumlah program yang ditawarkan Roshan, sebuah pusat pemberdayaan pengungsi luar negeri berbasis komunitas di Jakarta. Roshan mengadakan sejumlah kursus untuk pengungsi anak-anak, remaja, dan dewasa di area Jabodetabek. Roshan menyediakan kelas dalam Bahasa Inggris, Indonesia dan Farsi.

Para pengajar merupakan sukarelawan yang berasal dari komunitas pengungsi, orang Indonesia dan ekspatriat. Pusat pembelajaran ini juga membantu para pengungsi luar negeri dalam berbagai hal seperti layanan konseling, klinik kesehatan dan layanan komputer gratis.

Seiring dengan berkembangnya pusat pembelajaran ini, semakin dikenal pula nama Roshan. Didirikan pada tahun 2014 oleh dua ekspatriat Heather Tomlinson and Ashley Berryhill, Roshan sudah dikenal di tengah komunitas pengungsi di Jakarta. Setiap semester, Roshan menerima banyak pendaftar yang harus menunggu untuk dapat ikut serta dalam program-program Roshan.

Dalam sebuah wawancara dengan UNHCR, Tomlinson menyatakan bahwa pusat pembelajaran ini kekurangan tenaga pengajar dan fasilitas karena tingginya permintaan untuk membuka kelas baru untuk para pengungsi. Manajemen Roshan pun melakukan proses seleksi untuk para pendaftar. Roshan menerima murid baru dua kali dalam setahun yaitu pada Januari dan Juli. Pada akhir Juni 2017, sebanyak 96 murid terdaftar di pusat pembelajaran ini. Tomlinson berharap agar kelak jumlah murid yang terdaftar di semester depan dapat mencapai 125 orang.

Dengan motto, “Opening doors to brighten futures for refugees” (Membuka kesempatan untuk mencerahkan masa depan untuk pengungsi), Roshan menanamkan lima nilai yang oleh para fasilitator Roshan biasa disebut “DOORS” (PINTU) – Doing good for others (Melakukan kebaikan untuk sesama), Opening our minds (Membuka pikiran), Owning responsibility (Bertanggung jawab), Reaching for the stars (Menggapai mimpi) dan Supporting our friends (Saling mendukung). Bernapaskan moto organisasi, murid-murid Roshan didorong untuk turut berkontribusi di tengah masyarakat Indonesia untuk mempererat hubungan baik antarpengungsi dan masyarakat Indonesia. Beberapa murid Roshan, misalnya, pernah menjadi sukarewalan bersama AWA – American Women’s Association (Asosiasi Perempuan Amerika) untuk memberikan bantuan perlengkapan sanitasi dan hadiah kepada anak-anak yang dirawat di RS Fatmawati.

Berkat Roshan, sudah banyak pengungsi di Jakarta yang mendapatkan semangat baru untuk menyongsong masa depan. Jamal (nama samaran, 26), seorang lulusan S1 jurusan matematika, misalnya, telah lama bercita-cita menjadi guru. Di negara asalnya Afganistan, Jamal mengajar di waktu senggang sembari kuliah. Ketika konflik di Afghanistan terjadi dan Jamal terpaksa harus melarikan diri ke Indonesia untuk berlindung di tahun 2014, ia merasa kesempatan untuk meraih mimpinya untuk menjadi seorang pengajar hilang seketika hingga akhirnya ia tahu tentang Roshan Learning Center dari sesama pengungsi.

“Saya [mengatakan kepada pegawai Roshan] bahwa saya ingin belajar Bahasa Inggris. Kemudian mereka meminta saya untuk mengajar sains dan matematika,” ucap Jamal yang telah mengajar di Roshan sejak 2015. “Saya senang dapat membantu para pengungsi lain” tambahnya.

Jamal mengatakan bahwa mengajar di Roshan cukup menantang karena tidak semua siswa berada di tingkat pendidikan yang setara. “Beberapa anak didik Roshan [sudah pernah masuk] sekolah sebelumnya, [sementara] lainnya belum pernah [masuk sekolah].” Kelak, Jamal berharap dapat melanjutkan kuliah hingga S2 di bidang matematika jurusan aljabar. Ia berharap untuk dapat menjadi dosen.

Roshan juga telah membawa harapan baru bagi puluhan pengungsi muda lainnya. “Ketika saya datang ke Indonesia, saya tidak bisa berbahasa Inggris, tetapi sekarang [dengan mengikuti kelas Roshan] saya dapat berbahasa Inggris. Guru-guru kami sangat baik dan selalu membantu kami” tutur Ali, pemuda berusia 20 tahun asal Afghanistan yang sudah lulus SMA dan bercita-cita menjadi seorang perawat.

“Saya [ingin] bersekolah di sini, tetapi sulit [bersekolah] untuk para pengungsi. Tetapi saya tetap berusaha belajar,” tambahnya. “Saya belajar sedikit cara merawat di sini dan [nanti] saya ingin melanjutkan kuliah ilmu keperawatan di tingkat perguruan tinggi” tuturnya.

Rania, 19, sangat senang ketika ia mendapat informasi tentang adanya Roshan melalui Facebook ketika ia baru datang ke Jakarta sekitar enam bulan lalu. “Saya sekolah sudah sampai tingkat SMA di Afghanistan. Saya ingin menjadi penyanyi karena saya sangat senang menyanyi, tetapi saya juga ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi” katanya. Rania adalah penyanyi rap yang berharap dapat terus mengejar mimpinya di bidang musik dan melanjutkan pendidikan untuk persiapan sebelum melangkah ke jenjang universitas.

Meski permintaan untuk membuka kelas baru sangat tinggi, Roshan berharap akan adanya kesetaraan gender di antara murid-murid. “Kami memberikan prioritas kepada perempuan untuk belajar di kelas yang setara dengan SMA demi kesetaraan [gender] dalam kesempatan belajar” tutur Tomlinson. Hal tersebut dilakukan karena hanya sebagian kecil perempuan yang terdaftar di Roshan.

Kendati para pengungsi memberikan dukungan yang besar kepada Roshan, ada sejumlah hambatan yang dihadapi Roshan. Salah satunya adalah faktor latar belakang budaya dari kelompok konservatif yang memiliki pandangan kaku mengenai gender dan pada akhirnya menyebabkan ketidakberimbangan antara jumlah perempuan dan laki-laki yang mengikuti program-program Roshan.

Beberapa siswa perempuan keluar dari program belajar Roshan karena orang tua mereka merasa tidak nyaman bila anak perempuan mereka menjadi terpelajar. “Itu spekulasi kami karena tidak ada informasi pastinya,” kata Tomlinson. Para pengelola Roshan tetap terus mendorong anak-anak perempuan pengungsi untuk mendaftar ke kelas-kelas Roshan.

Tomlinson berharap dengan berbekal ilmu pengetahuan di Roshan, para pengungsi dapat diterima di sekolah negeri di Indonesia. “Saya kira akan sangat baik apabila pengungsi anak-anak dari luar negeri ini bisa mendapat kesempatan bersekolah di sekolah negeri Indonesia. Jika mereka terdaftar di sekolah negeri maka mereka dapat bersekolah lima hari dalam seminggu dan terbuka kesempatan untuk mendapatkan teman baru dan menikmati hari-hari mereka di Indonesia dan tentunya mereka akan lebih siap [menghadapi masa depan]” ujar Tomlinson.

Jika hal tersebut dapat terjadi, maka langkah selanjutnya adalah mempersiapkan para orang tua dan anak-anak para pengungsi untuk proses transisi. “Menurut saya, Roshan dapat menjadi lembaga pendidikan yang menjembatani [ke sekolah formal]” kata Tomlinson.

Untuk ke depannya, Roshan akan terus memfasilitasi kegiatan belajar-mengajar untuk para pengungsi dan memastikan hak setiap pengungsi untuk mendapat pendidikan terpenuhi.

 

Catatan: Nama-nama pengungsi diatas bukan nama sebenarnya.